Introduction

About Me

Jumat, 25 Juni 2010

PENDAHULUAN

Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau yang berjajar dari Sumatra sampai Papua, mendukung kekayaan keanekaragaman hayati yang terkaya di seluruh dunia. Diantara tumbuhan dan binatang yang sangat beraneka ragam ini, terdapat lebih dari 200 jenis kelelawar, atau sekitar 20% dari semua jenis kelelawar di dunia yang telah diketahui.

Hampir semua orang di Indonesia mengenal kelelawar; mungkin karena mendengan suara kelelawar yang bertengger di rumahnya, atau karena melihatnya ketika sedang mengejar serangga di senja hari, atau karena mendapat kesempatan melihat iring-iringan ribuan kelelawar yang baru keluar dari gua tempat bersarangnya, berupa tontonan yang sangat mengasyikan, atau mungkin karena melihat koloni kelelawar yang bergantung di pepohonan di Kebun Raya Bogor. Bukti bahwa kelelawar ini sudah dikenal oleh masyarakat luas, yaitu dengan adanya berbagai nama dari setiap daerah. Di Indonesia Timur kelelawar disebut paniki, niki atau lawa; orang sunda menyebutnya lalay, kalong, atau kampret; orang Jawa menyebutnya lowo, lawa, codot, kampret; suku Dayak di Kalimantan menyebutnya sebagai hawa, prok, cecadu, kusing dan tayo.

Keberadaan kelelawar ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia karena peranannya sebagai pemencar biji buah-buahan (jambu air, jambu biji, kenari, keluwih, sawo, namnaman, duwet, cendana, dll); sebagai penyerbuk tumbuhan bernilai ekonomis (petai, durian, bakau, kapuk, randu, dll); sebagai pengendali hama serangga; sebagai penghasil guano dan tambang fosfat di gua-gua; sebagai obyek ekowisata.

Kelelawar gua sebagai obyek wisata belum banyak dimanfaatkan masyarakat di Indonesia. Misalnya kelelawar dari Gua Lawa, Nusa Kambangan dapat dijadikan daya tarik wisata karena gua ini dihuni puluhan ribu kelelawar (jenis Chaerephon plicata). Iring-iringan kelelawar pada senja hari keluar dari mulut gua merupakan atraksi yang menarik, barisan seperti ular naga yang berjalan melenggak-lenggok diangkasa raya yang berlangsung lebih dari setengah jam.

Pupuk guano yang dihasilkan kelelawar penghuni gua sudah banyak dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat. Guano merupakan bahan yang mengandung fosfat terbanyak. Fosfat merupakan bahan penyusun pupuk pertanian. Indonesia kaya akan sumber penghasil fosfat, seperti guano tetapi ironisnya hampir 100% triplesuperphosphat (tsp) untuk pupuk pertanian adalah hasil impor. Menurut data statistik impor, bulan Mei 2001 Indonesia mengimpor 7.570. ton triplesuperphosphat dengan nilai US$ 892.847 atau sekitar Rp 8.035.623.000 atau sekitar 8 triliun per bulan sehingga dalam satu tahun menghabiskan devisa sekitar 96 triliun rupiah (BPS, 2001).

Gua merupakan salah satu habitat tempat tinggal sebagian besar jenis kelelawar. Indonesia sangat kaya akan gua, di Jawa dan Bali saja terdapat sekitar 1000 buah, dan 200 buah diantaranya telah dipetakan. Eksploitasi terhadap kekayaan di dalam gua yang tidak benar menyebabkan terganggunya ekosistem gua. Misalnya penambangan batu kapur untuk kebutuhan pembuatan jalan atau kebutuhan lainnya menyebabkan gua menjadi hancur, kemudian adanya kunjungan wisatawan yang tidak memperhatikan kelestarian ekologi di dalamnya. Adanya pengrusakan dan gangguan pada gua mempengaruhi ekosistem yang ada didalamnya termasuk kelelawar, sehingga mereka terpaksa pindah ke tempat (gua) lain, yang kadang tidak sesuai bagi kehidupannya.

Meskipun belum ada penelitian, di beberapa tempat di Indonesia terdapat kecenderungan penurunan populasi kelelawar. Contohnya dulu di Gua Ciampea, Bogor sangat mudah menangkap lalai kembang (Eonycteris spelaea), namun akhir-akhir ini sulit mendapatkannya karena populasinya berkurang akibat penangkapan liar untuk dijual.

Kelelawar berkembang biak sangat lambat, disamping masa bunting yang cukup lama 5-6 bulan juga jumlah anak per kelahiran sangat sedikit sehingga apabila jumlah kematian dan perburuan kelelawar lebih besar dari perkembangbiakan, maka populasi kelelawar akan menurun. Dengan demikian, jika nasib kelelawar ini tidak diperhatikan lambat laun populasi menurun dan pada akhirnya manfaat ekonomis serta biologis sebagai penghasil guano dan pengendali keseimbangan ekosistem menjadi hilang dan kita akan kehilangan kekayaan hayati yang sulit untuk dikembalikan.

TUJUAN

1. Mengetahui daerah penyebaran, habitat, jenis makanan, tingkah laku reproduksi, produktivitas, tingkah laku makan, dan manfaat kelelawar bagi keseimbangan lingkungan dan manusia

2. Mengidentifikasi potensi dan peluang pengembangan kelelawar sebagai penyedia pupuk guano di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

KLASIFIKASI

Sistematika Zoology kelelawar (Koopman dan Jones, 1970).

Kingdom

:

Animalia

Phylum

:

Chordata

Subphylum

:

Vertebrata

Class

:

Mammalia

Ordo

:

Chiroptera

Subordo

:

  1. Megachiroptera

Famili: 1. Pteropodidae

  1. Microchiroptera

Famili:

1. Rhinopomiatidae

2. Nycteridae

3. Megadermatidae

4. Rhinolopidae

5. Hipposideridae

6. Mizopopodidae

7. Mystacinidae

8. Noctilionidae

9. Phyllostomidae

10. Desmodontidae

11. Natalidae

12. Furipteridae

13. Thyropteridae

14. Vespertilionidae

15. Emballonuridae

16. Molossidae

Subordo Megachiroptera (Old World fruit bats) hanya memiliki satu famili yaitu Pteropodidae dengan 42 genera dan 175 spesies, sedangkan subordo Microchiroptera memiliki keragaman yang besar dengan 16 famili, 145 genera dan 788 spesies (Findley, 1993).

Biologi Kelelawar

Kelelawar merupakan salah satu anggota mamalia yang termasuk ke dalam ordo Chiroptera yang berarti mempunyai “sayap tangan”, karena kaki depannya bermodifikasi sebagai sayap yang berbeda dengan sayap burung (DeBlase dan Martin, 1981).

Sayap kelelawar dibentuk oleh perpanjangan jari kedua sampai kelima yang ditutupi oleh selaput terbang atau patagium, sedangkan jari pertama bebas dan berukuran relatif normal. Antara kaki depan dan kaki belakang, patagium ini membentuk selaput lateral, sedangkan antara kaki belakang dan ekor membentuk interfemoral.

Ordo Chiroptera merupakan hewan yang unik dan menarik karena merupakan satu-satunya mamalia yang memiliki kemampuan terbang, memiliki jenis pakan yang sangat bervariasi dan beristirahat dengan cara bergantung terbalik.

Ordo Chiroptera memiliki dua sub ordo yaitu Microchiroptera dan Megachiroptera. Kebanyakan Microchiroptera adalah insectivora dan hanya sebagian kecil yang omnivora, karnivora, piscivora, frugivora, nectarivora atau sanguivora (Findley, 1993). Kelelawar pemakan serangga yang paling kecil mempunyai bobot 2 gram dan paling besar 196 gram dengan lengan bawah sayap 22-115 cm. Microchiroptera umumnya menggunakan ekolokasi sebagai alat pengendalian gerakannya di tempat yang gelap dan menentukan posisi serangga yang akan dimangsanya. Sedangkan Megachiroptera umumnya adalah herbivora (pemakan buah, daun, nektar dan serbuk sari), berukuran tubuh relatif besar dengan bobot badan 10 gram untuk ukuran kecil dan ukuran terbesar dapat mencapai 1500 gram, memiliki telinga luar yang sederhana tanpa tragus, jari kedua kaki depan bercakar dan mata berkembang relatif baik (Nowak dan Paradiso, 1983).

Menurut Yalden dan Morris (1975), pada waktu terbang kelelawar membutuhkan oksigen jauh lebih banyak dibandingkan ketika tidak terbang (27 ml vs. 7 ml oksigen/1 gram bobot tubuh, dan denyut jantung berdetak lebih kencang (822 kali vs. 522 kali per menit), untuk mendukung kebutuhan tersebut, jantung kelelawar berukuran relatif lebih besar dibandingkan kelompok lain ( 0,09% vs. 0,5% bobot tubuh). Kebutuhan energi yang tinggi pada saat terbang mengharuskan kelelawar makan dalam jumlah banyak. Menurut Gould (1955) Myotis lucifugus yang ada di Amerika Serikat, mampu memakan serangga yang setara dengan 500 individu serangga dalam satu jam, bahkan kelelawar Pipistrellus subflavus mampu menangkap serangga sebanyak seperempat bobot tubuhnya dalam waktu 30 menit.

Kelelawar juga dikenal sebagai pembawa beban yang sangat handal, jenis Lasiurus borealis mampu membawa empat ekor bayinya yang total bobotnya 23,4 gram atau 181% bobot tubuhnya (Yalden dan Morris, 1975). Kelelawar lain hanya mampu membawa bayinya dengan bobot berkisar 9,3-73,3% bobot tubuhnya (Davis dan Cockrum, 1964)

Selain adaptasinya yang baik, kelelawar juga memiliki daerah penyebaran yang bersifat kosmopolit, karena ditemukan hampir di semua wilayah di muka bumi kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terisolasi (Koopman, 1970).

Pola kawin

Kelelawar mempunyai perbedaan dalam masa estrus atau tingkah laku kawin. Pada famili Pteropodidae dikelompokan menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Aseasonally polyestrus, yakni seluruh populasi jantan tetap menunjukan spermatogenesis dan kelenjar kelengkapan menjadi mengembang atau membesar

  1. Bimmodally seasonally polyestrus, yaitu hewan jantan barangkali masih mempunyai spermatozoa dalam testes dan pada epididymis sepanjang tahun
  2. Aseasonally monoestrus, yakni hewan jantan mungkin hanya mempunyai spermatozoa dalam testes dan epididymis hanya untuk eberapa bulan saja

Pada famili lainnya beragam menurut banyaknya spesies yang dimiliki, sebagai contoh:

  1. Famili Phylostomatidae mengikuti pola tiga musim kawin;
  2. Famili Emballonuridae memiliki dua musim berahi, yaitu aseasonally monoestrus dan polyestrus
  3. Famili Rhinopomatidae yang banyak dijumpai di Sumatra dan famili Natalidae hanya satu musim berahi, yakni monoestrus;
  4. famili Nycteridae, spesies yang banyak ditemukan di Sumatra, Jawa dan Kalimantan mengikuti pola aseasonally polyestrus (Krutzsch, 1979).

Hubungan reproduksi terhadap kejadian masa tidak aktif pada kelelawar senantiasa mengikuti dua pola dasar:

  1. Estrus dan perkawinan terjadi di akhir musim panas dan awal musim gugur, setelah itu kelelawar yang termasuk tipe ini akan segera memasuki masa istirahat
  2. Perkawinan merupakan tahap awal aktivitas reproduksi yang terjadi pada musim gugur, kemudian diikuti dengan ovulasi, konsepsi dan permulaan pembentukan embrio. Betina memasuki masa tidak aktif dalam keadaan bunting (Oxyberry, 1979).

Megaderma spasma H.Allen, 1864.

Spesies Megaderma spasma (nama Inggris Asian False vampires) termasuk ke dalam Famili Megadermatidae dan genus Megaderma. Famili Megadermatidae di dunia mempunyai empat genus dan lima spesies sedangkan di Indonesia terdapat satu genus dan satu spesies (Nowak, 1999). Anggota Megadermatidae dikenal sebagai pengendali hama tanaman, serangga, dan penghasil pupuk guano.

Ciri-ciri morfologi(Suyatno, 2001)

Taring mencuat ke depan dengan tonjolan sekunder. Geraham depan atas kecil dan terdesak ke dalam. Telinga besar dan tegak, bersambungan antara kanan dan kiri pada bagian pangkalnya. Tragus panjang dan terbelah. Ekor sangat pendek/tidak ada, kalau ada terbenam dalam selaput kulit antarpaha yang tumbuh baik. Daun hidung tegak dan panjang (Nowak, 1994).

Ukuran tubuh (Suyatno, 2001)

- lengan bawah sayap 53-58 mm

- telinga 32-39 mm, besar dan tegak

- betis 29-32 mm

- kaki belakang 14-17 mm

- bobot badan 40-60 gram (Lekagul dan McNeely, 1977)

- total panjang badan 65-95 mm (Lekagul dan McNeely, 1977)

Reproduksi

Karakteristik reproduksi :

ü Cenderung hidup berkoloni besar dalam satu tempat.

ü Dalam koloni tersebut jantan hidup bersama betina sepanjang tahun.

ü Musim kawin terjadi antara bulan Nopember – Januari

ü Dewasa kelamin jantan 15 bulan, dan betina 19 bulan

ü masa bunting 150-160 hari, dan kelahiran terjadi antara bulan April-Juni.

ü litter size 1-2 ekor tetapi paling banyak satu ekor,

Kelahiran kelelawar muda terjadi sebelum awal musim hujan. Kelelawar muda tumbuh sangat cepat dan diasuh oleh induknya selama 2-3 bulan dengan cara digendong.

Habitat

Megaderma spasma banyak ditemukan pada habitat seperti gua-gua, gedung-gedung, rongga pepohonan dan atap-atap rumah sebagai tempat tinggalnya.

Daerah Penyebaran

Spesies Megaderma spasma menyebar di India dan Srilangka sampai Indochina, Malaysia dan Philipina. Di Indonesia banyak ditemukan pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku (Ternate, Pulau Taliabu).

Penyebaran subspesies lainnya (van der Zon, 1979):

  1. Megaderma s. medium Andersen, 1918; Sumatra, Riau, Aceh
  2. Megaderma s. trifolium Geoffroy, 1810; Sumatra Selatan, Kalimantan, Jawa, Pulau Kangean
  3. Megaderma s. lasiae Lyon, 1916 ; Lasia dan Pulau babi (Sumatra)
  4. Megaderma s. niasense Lyon, 1916 ; Pulau Nias
  5. Megaderma s.siumatis Lyon, 1916 ; Pulau Siumatis (Sumatra)
  6. Megaderma s.carimatae Miller, 1906 ; Pulau Karimata
  7. Megaderma s.celebensis Shamal, 1758 ; Sulawesi

Makanan :

Makanan utama spesies ini adalah serangga (insectivore) seperti belalang atau kupu –kupu. Disamping itu kelelawar ini juga memangsa sejenis kadal, reptil kecil, burung, ikan, dan rodensia kecil. Kelelawar ini diduga juga memangsa kelelawar sejenisnya (Nowak, 1994).

Kelelawar termasuk hewan nocturnal yaitu mencari makan pada malam hari. Kelelawar mempunyai kemampuan untuk menangkap pantulan getar atau gema dari suara yang diitimbulkannya atau dikenal dengan istilah ekholokasi. Ekholokasi adalah suatu fenomena malam hari, dimana kelelawar akan mengeluarkan suara dengan melalui mulut atau hidungnya ketika sedang terbang. Suara tersebut umumnya berada di atas ambang batas pendengaran manusia dan pantulkan kepada kelelawar tersebut dalam bentuk gema (echoes). Hal ini berguna bagi kelelawar yang sedang terbang dalam kegelapan untuk menentukan letak seragga mangsanya di atas daun atau sedang terbang. Mereka tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan pendengarannya ketika telinga mereka tersumbat. Kelelawar hanya mengeluarkan seperseribu energi suara untuk memangsa serangga dalam keadaan terbang.

Kebutuhan energi yang tinggi pada saat terbang mengharuskan kelelawar makan dalam jumlah banyak. Menurut Gould (1955) Myotis lucifugus yang ada di Amerika Serikat, mampu memakan serangga yang setara dengan 500 individu serangga dalam satu jam, bahkan kelelawar Pipistrellus subflavus mampu menangkap serangga sebanyak seperempat bobot tubuhnya dalam waktu 30 menit.

Tingkah laku.

Jenis ini termasuk hewan nocturnal (mencari makanan pada malam hari). Menggelantung dengan kakinya selama siang hari, mereka menyelimuti tubuhnya dengan sayap ketika dingin dan mengipas-ngipaskan sayapnya jika keadaan panas. Mereka sering terlihat makan di atas pohon dan menjatuhkannya ke tanah. Bagi induk yang memiliki anak, mereka memberikan anaknya makan sebelum mereka makan.

Kebiasaan kelelawar yang hidup berkoloni pada tempatnya sepanjang hari memberikan manfaat positif, yaitu kotoran yang dihasilkannya akan mengumpul pada suatu tempat dimana kelelawar tersebut tinggal. Tumpukan kotoran kelelawar yang merupakan sumber fosfat dapat dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan pupuk secara benar yang tidak mengganggu atau merusak ekosistem di dalammnya.

Kemampuan fisiologis kelelawar sungguh luar biasa. Pada musim dingin di kawasan subtropis, kelelawar tidur dan mampu menurunkan laju metabolisme tubuhnya sehingga bisa bertahan hidup tanpa makan; keadaan ini disebut masa dorman. Pada kadar karbon dioksida sebesar 21.000 ppm (50 kali kadar karbon dioksida dalam udara normal) dan ammonia sebesar 5000 ppm, kelelawar masih mampu bertahan hidup. Sementara kemampuan manusia untuk bertahan hidup pada kadar karbon dioksida yang sama hanya seperempatnya, dan hanya mampu bertahan hidup selama satu jam dalam kadar ammonia sebesar 100 ppm saja (Constantine, 1970).

Manfaat Ekonomis.

  1. Sebagai penyebar biji buah-buahan seperti sawo, jambu air, jambu biji, duwet, cendana, terutama pada famili Pteropodidae (fruit bat).
  2. Sebagai penyerbuk bunga tumbuhan bernilai ekonomis seperti petai, durian, bakau, kapuk randu, mangga.
  3. Sebagai obat, banyak masyarakat yang mempercayai dan biasa menggunakan daging kelelawar sebagai obat asma
  4. Sebagai penghasil daging, masyarakat Menado sudah terbiasa mengkonsumsi daging kelelawar sebagai bahan makanan sumber protein
  5. Penghasil pupuk guano (fospfat) yang diperlukan banyak bagi pertanian tanaman pangan

GUANO FOSFAT

Guano kelelawar adalah 100 % pupuk organik yang dihasilkan oleh semua jenis kelelawar yang ada di dunia. Guano kelelawar mengandung elemen mineral mikro dan makro lengkap yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.

Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan :

Jenis hewan

Nitrogen

P (P2O5)

K (K2O)

Ayam

3.6

1.3

1.3

Sapi potong

2.0

0.65

1.6

Sapi perah

3.3

0.35

2.0

Bebek

2.6

0.8

0.5

Kambing

4.0

0.61

2.8

Guano kelelawar

5.7

8.6

2.0

Kuda

2.5

0.25

0.8

Manusia

2

1

0.2

Babi

2.8

1

1.2

Burung merpati

6.5

2.4

2.5

Kelinci

4.8

2.8

1.2

Domba

3.5

0.55

1

Kalkun

5

0.6

0.8

Sumber : http.www.css. Cornell, educ. Fertilizer analisis.pdf. dl 27-11-2002.

Dari tabel tersebut dapat kita lihat bahwa guano kelelawar mengandung paling banyak fosfat. Fosfat merupakan bahan utama penyusun pupuk disamping nitrogen dan Potasium. Beck (1959) menyatakan bahwa kandungan kasar bahan utama pupuk guano kelelawar adalah 10% nitrogen, 3% Fosfor, dan 1% Potasium. Tingginya kandungan nitrogen sangat mendukung pertumbuhan tanaman yang cepat, fosfor merangsang pertumbuhan akar dan pembungaan, dan kalium (K) mendukung kekuatan batang tanaman. Disamping tiga unsur utama tersebut, guano mengandung semua unsur atau mineral mikro yang dibutuhkan oleh tanaman. Tidak seperti pupuk kimia buatan, guano tidak mengandung zat pengisi. Guano tinggal lebih lama dalam jaringan tanah, meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan makanan bagi tanaman lebih lama dari pada pupuk kimia buatan.

Proses pemanenan guano kelelawar di dalam gua harus dilakukan secara profesional. Jika tidak akan membahayakan pekerja itu sendiri karena terdapat gas amoniak atau spora jamur. Disamping itu harus dilakukan ketika para kelelawar keluar meninggalkan gua tersebut.

Gambar 3. Pemanenan guano di dalam Gua di Texas, Garden Ville.

POTENSI GUA

Gua merupakan ekosistem alami sederhana yang sangat bermanfaat untuk memahami keterkaitan ekologis, untuk pengaturan dan pemurnian air, untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis seperti pupuk guano, sarang burung walet atau nilai intrinsik dari gua itu sendiri. Batas-batas yang jelas, kondisi yang tertutup, tingkat cahaya yang rendah, suhu dan kelembaban relatif serta aliran udara yang relatif stabil merupakan ciri khas suatu gua. Variasi dalam ciri khas antara gua yang satu dengan gua lainnya membentuk berbagai macam habitat yang menentukan tipe dan jumlah binatang yang dapat hidup di dalam gua.

Gua merupakan salah satu habitat tempat tinggal sebagian besar jenis kelelawar. Indonesia sangat kaya akan gua, di Jawa dan Bali saja terdapat sekitar 1000 buah, dan 200 buah diantaranya telah dipetakan. Eksploitasi terhadap kekayaan di dalam gua yang tidak benar menyebabkan terganggunya ekosistem gua. Misalnya penambangan batu kapur untuk kebutuhan pembuatan jalan atau kebutuhan lainnya menyebabkan gua menjadi hancur, kemudian adanya kunjungan wisatawan yang tidak memperhatikan kelestarian ekologi di dalamnya. Adanya pengrusakan dan gangguan pada gua mempengaruhi ekosistem yang ada didalamnya termasuk kelelawar, sehingga mereka terpaksa pindah ke tempat (gua) lain, yang kadang tidak sesuai bagi kehidupannya.

Beberapa gua di jawa dan Bali yang dihuni oleh ribuan kelelawar, yaitu :

No

Nama Gua

Lokasi

Catatan

1

Lalai

Pelabuhan Ratu, Jawa Barat

Jutaan kelelawar bibir keriput Tadarida plicata. Timbunan guano belum dikelola secara optimal.

2

Ciampea

Bogor, Jawa Barat

Dihuni oleh Lalai Kembang Eonycteris spelaea. Populasi menurun karena penangkapan liar

3

Pongangan

Gresik, dekat Surabaya, Jawa Timur

Jutaan kelelawar menghuni gua ini, populasi sudah menurun karena penangkapan liar

4

Lawah

Klungkung, Bali

Dihuni oleh ribuan codot fajar gua Eonycteris spelaea

5

Giri Putri

Karangsari, Suana, Nusa Penida Bali

Gua cukup besar dengan penghuninya kala cameti, jangkrik gua, kelelawar dan kepiting endemik

Potensi dan Peluang Indonesia sebagai Penghasil Pupuk Fosfat

Indonesia adalah negara agraris. Sebagaian besar lahan daratan digunakan untuk aktivitas pertanian dan masyarakat mayoritas mempunyai mata pencaharian sebagai petani yang mendukung lahan pertanian tanaman pangan. Kegiatan pertanian memerlukan pupuk sebagai pendukungnya. Disamping itu kebijakan pemerintah yang mendukung terhadap berbagai upaya pengelolaan sumberdaya lokal yang mendapat sambutan baik dari berbagai komponen starategik seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Hal ini merupakan suatu peluang bagi upaya pengelolaan dan penyediaan pupuk organik fosfat.

Untuk memenuhi permintaan petani terhadap pupuk buatan, pemerintah masih mengandalkan impor terhadap bahan (unsur) penyusun pupuk buatan. Seperti untuk membuat pupuk TSP (Triplesuperphosphate) hampir 100% bahan tersebut diimpor. Sebagai contoh menurut data Statistik Impor, Indonesia telah mengimpor triplesuperphosphate pada bulan Mei 2001 sebanyak 7.570. ton dengan nilai US$ 892.847 atau sekitar Rp 8.035.623.000 atau sekitar 8 triliun per bulan sehingga dalam satu tahun menghabiskan devisa sekitar 96 triliun rupiah (BPS, 2001).

Kondisi Indonesia dewasa ini memaksa kita untuk dapat mencari, menggali potensi kekayaan hayati untuk dikelola sebagai penghasil devisa negara sekaligus dapat memenuhi permintaan dalam negeri. Indonesia mempunyai banyak kekayaan hayati, baik flora maupun fauna, namun belum mengetahui, atau belum dapat mengelola sumberdaya tersebut sebagai pemenuhan berbagai kebutuhan hidup manusia. Pada akhirnya sumberdaya tersebut banyak dieksfloitasi oleh orang asing dengan harga murah dan dijual kembali ke Indonesia dengan berbagai kemasan dengan harga yang lebih mahal. Seperti halnya dengan pupuk TSP, kita mengimpor total bahan tersebut padahal Indonesia sendiri mempunyai banyak potensi yaitu kelelawar dan gua sebagai habitatnya dalam menghasilkan guano fosfat.

Indonesia dengan kondisi geografinya mendukung terbentuk gua-gua yang cukup banyak. Di Jawa dan Bali terdapat kira-kira 1000 gua, 200 diantaranya sekarang sudah dipetakan. Gua tersebut merupakan habitat bagi suatu kumpulan individu dan membentuk suatu ekosistem di dalamnya, diantaranya adalah jenis kelelawar dan hewan lain seperti serangga. Banyaknya gua ini merupakan suatu kekuatan (strength) bagi upaya pelestarian dan pengembangan kelelawar sebagai penghasil pupuk guano di Indonesia.

Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna sangat melimpah. Kekayaan ini kurang didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia dan teknologi penopang kekayaan tersebut, akibatnya banyak potensi dan kekayaan hayati belum dapat dimanfaatkan secara optimal

Kebiasaan kelelawar yang hidup berkoloni pada tempatnya sepanjang hari memberikan manfaat positif, yaitu kotoran yang dihasilkannya akan mengumpul pada suatu tempat dimana kelelawar tersebut tinggal. Tumpukan kotoran kelelawar yang merupakan sumber fosfat dapat dieksploitasi untuk pemenuhan kebutuhan pipuk secara benar yang tidak mengganggu atau merusak ekosistem di dalammnya.

Yang menjadi ancaman (threats) bagi kelestarian dan pemanfaatan potensi kelelawar ini adalah perburuan kelelawar untuk dikonsumsi dagingnya, eksploitasi tambang batu kapur yang menghancurkan gua sebagai habitat kelelawar, dan wisata ke dalam gua dan pengambilan pupuk guano yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan penghuninya. Hal ini mengakibatkan gua untuk kelelawar menjadi rusak dan kelelawar pergi meninggalkan habitatnya tersebut untuk mencari tempat baru yang belum tentu cocok bagi kehidupannya, pada akhirnya populasi kelelawar penghuni gua tersebut menjadi berkurang dan jika tidak diperhatikan suatu saat akan punah.

Tabel Analisis SWOT terhadap potensi Indonesia untuk menghasilkan pupuk organik fosfat.

\

\ Faktor Internal

\

\

\

\

\

\

Faktor Eksternal \
\

Kekuatan (strength):

1. Jenis dan populasi kelelawar tinggi

2. Gua sebagai habitat kelelawar banyak

3. Tidak memerlukan modal besar

4. Kelelawar mencari makan sendiri

5. Sebagai pengendali hama dan lingkungan

Kelemahan (weakness)

1. Perkembangbiakan kelelawar lambat

2. Sumberdaya manusia masih rendah

3. teknologi pengelolaan guano rendah

4. Belum ada investor untuk pengelolaan guano kelelawar

Peluang (opportunity):

1. Kebijakan pemerintah mendukung

2. harga pupuk fosfat cukup tinggi

3. kebutuhan pupuk fosfat dalam dan luar negeri tinggi

4. kekuatan komponen strategik (PT, swasta, LSM, dll)

Strategi (SO):

1. Mengadakan identifikiasi terhadap potensi gua & kelelawar penghuni gua

2. Meningkatkan perhatian pemerintah terhadap habitat kelelawar

3. melakukan kerjasama dengan komponen stategik untuk konservasi dan budidaya kelelawar

Strategi (WO):

1. Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia

2. Pendidikan dan pelatihan pengelolaan guano

3. Pemerintah mencari investor dalam pengelolaan guano

4. Melakukan konservasi dan budidaya jenis kelelawar yang sudah bisa dilakukan

Ancaman (threats):

1. Produk bersaing dengan pupuk impor

2. Eksploitasi guano dapat merusak ekologi gua

3. Ekowisata mengancam kenyamanan kelelawar gua

4. Eksploitasi batu kapur menghancurkan gua

Strategi (ST):

1. Pengelolaan guano dilakukan secara profesional

2. Mutu pupuk fosfat bersaing dengan produk impor

3. Mengatur kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan gua untuk memperhatikan kelestarian lingkungan

Strategi (WT):

1. Meningkatkan SDM dalam sehingga dihasilkan produk standar impor

2. Meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak yang kegiatannya berhubungan dengan gua dan penghuninya

3. mencegah penangkapan kelelawar secara liar dan melindungi habitat gua dari pengrusakan

Berdasarkan hasil analisis SWOT, maka perlu dirancang strategi pendekatan dalam pengelolaan gua dan kelelawar untuk menghasilkan pupuk guano, sebagai berikut:

  1. Melakukan identifikasi terhadap semua potensi yang menyangkut kehidupan semua jenis kelelawar, baik habitatnya, makanan dan perlindungan terhadap kelelawar itu sendiri, terutama kelelawar penghuni gua.
  2. Melakukan pendidikan dan pelatihan terhadap sumberdaya manusia untuk dipersiapkan sebagai tenaga ahli dalam pengelolaan guano kelelawar
  3. Pemerintah mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk proses pengelolaan guano kelelawar
  4. Melengkapi paket teknologi yang dapat digunakan untuk proses pengelolaan dan pengolahan guano kelelawar
  5. Memperketat pengawasan dan perlindungan terhadap perburuan liar kelelawar yang mengancam kelestarian populasinya
  6. Melalukan konservasi dan budidaya kelelawar penghuni gua atau jenis lainnya untuk mempertahankan populasi dan kelestariannya
  7. Mencari investor yang mau menanamkan modalnya dalam pengelolaan guano kelelawar di Indonesi baik investor dalam maupun luar negeri.

Kesimpulan :

  1. Indonesia mempunyai potensi besar sebagai penghasil pupuk guano fosfat yang berasal dari kotoran kelelawar
  2. Pelestarian kelelawar dan habitatnya akan mendukung penyediaan bahan makanan manusia, terutama buah-buahan
  3. Jika dikelola dengan baik, kelelawar dapat mengurangi devisa negara dengan kotorannya berupa pupuk guano fosfat.
  4. Daging kelelawar dapat digunakan sebagai obat asma, pemenuhan konsumsi daging sumber protein hewani.

Saran :

  1. Kelestarian dan populasi kelelawar harus sudah saatnya dijaga dengan cara menjaga dari perburuan liar dan pengrusakan habitatnya
  2. Perlu dirintis budidaya kelelawar tertentu baik untuk tujuan konsumsi daging atau pun tujuan penghasil pupuk guano fosfat

DAFTAR PUSTAKA

Constantine, D.G. 1970. Bats in relation to the health, welfare, and economy of man. Dalam Wimsat, W.A. (Ed.) Biology of Bats (II), Akademic Press, London.

Davis, R. dan Cockrum, E.L. 1964. Experimentally determined weight-lifting capacity of five species of western bats. J. Mammal. 45.

DeBlase, A.F. dan R.E. Martin. 1981. A Manual of Mammalogy : With Keys to Families of the World. Wm.C. Brown Company Publishers, Dubuque, Lowa.

Findley, J.S. 1993. A Community Perspective, 4th ed. Lea & febiger, Philadelphia.

Gould, E. 1955. The feeding eficiency of insectivorous bats. J. Mammal. 36.

Lekagul, B and J.A. McNeely. 1977. Mammals of Tailand. Sahakarnbharn, Bangkok.

Koopman, K.F. 1993. Order Chiroptera. Dalam Wilson, D.E. & Reeder, D.M. (Eds): Mammals Spesies of the World, a Taxonomy and Geographic Reference, 2nd ed., Smithsonial Inst. Press, Washington DC.

Medway, L. 1969. The Wild Mammals of Malaya, and offshore islands incluiding Singapore. Oxford University Press, Baltimore. London.

Nowak, R.M and Paradiso, J.L. 1983. Walker’s Mammals of the World, 4 th Edition. The Johns Hopkins Universiy Press.

Nowak, L. 1999. Walker’s Mammals of the World. Vol. 1. John Hopkins University Press, Baltimore and London.

Nowak, R.M. 1994. Walker’s Bats of the World. The Johns Hopkins University Press, Baltomore and London.

Suyatno, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Balai Penelitian Botani. Herbarium Bogoriense.

Bogor-Indonesia.

Van der Zon, A.P.M. 1979. Mammals of Indonesia. Draft Version. UNDP/FAO National Park Development Project, Bogor, Indonesia.

Walker, E.P. 1975. Mammal of The World. Third Edition. The John Hopkin University Press and London.

Yalden, D.W. dan Morris, P.A. 1975. The Lives of Bats. The New York Times Book, New York.


Read more...

Followers

About This Blog

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP